8 April 2025

Narasi Pagi

Kumpulan Kabar Terkini

Australia Pertimbangkan Kirim Pasukan Perdamaian ke Ukraina, PM Albanese Hadiri Konferensi Virtual

Australia Pertimbangkan Kirim Pasukan Perdamaian ke Ukraina

Sumber: antaranews.com

Narasi Pagi – Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, dilaporkan akan menghadiri konferensi virtual bersama para pemimpin dunia guna membahas potensi pengiriman pasukan perdamaian Australia ke Ukraina. Informasi ini pertama kali muncul dalam laporan media Australia pada Jumat (14/3).

Konferensi virtual tersebut diinisiasi oleh Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, dan dijadwalkan berlangsung pada Sabtu malam. Pertemuan ini akan melibatkan sejumlah pemimpin dunia, termasuk dari Prancis, Jerman, Italia, Kanada, dan Selandia Baru. Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, juga dijadwalkan untuk ikut serta dalam diskusi tersebut.

Menurut laporan ABC News, dalam pertemuan tersebut Albanese berencana menyampaikan bahwa pemerintah Australia tetap terbuka untuk mempertimbangkan permintaan resmi terkait pengiriman pasukan ke Ukraina sebagai bagian dari misi perdamaian. Sikap ini menunjukkan bahwa Canberra tidak menutup kemungkinan untuk memberikan dukungan lebih lanjut kepada Ukraina, bergantung pada situasi dan keputusan bersama dengan mitra internasionalnya.

Sebelumnya, Menteri Pertahanan Australia, Richard Marles, telah menyatakan bahwa segala bentuk permintaan bantuan dari Kiev akan dipertimbangkan dengan serius oleh pemerintah Australia. Termasuk di dalamnya adalah opsi pengiriman pasukan perdamaian untuk membantu menjaga stabilitas di Ukraina pascakonflik.

Meskipun demikian, Marles menekankan bahwa langkah tersebut hanya akan dilakukan jika situasi di Ukraina sudah mencapai titik di mana perdamaian perlu dijaga. Artinya, pengiriman pasukan tidak akan dilakukan selama konflik masih berlangsung, tetapi hanya ketika kondisi memungkinkan dan ada kesepakatan internasional yang jelas mengenai peran pasukan penjaga perdamaian.

Pada awal tahun ini, laporan dari The Telegraph mengungkapkan bahwa Perdana Menteri Inggris Keir Starmer dan Presiden Prancis Emmanuel Macron telah melakukan pembahasan tertutup mengenai kemungkinan pengiriman pasukan penjaga perdamaian ke Ukraina. Diskusi tersebut dilaporkan terjadi setelah adanya indikasi bahwa konflik mungkin memasuki fase baru, di mana peran pasukan internasional dapat diperlukan untuk membantu proses stabilisasi.

Sementara Macron terlihat aktif dalam mendorong gagasan tersebut, Starmer dikabarkan belum memberikan komitmen penuh. Namun, upaya diplomasi terus dilakukan, termasuk melalui komunikasi dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy serta Perdana Menteri Polandia, Donald Tusk.

Di sisi lain, Rusia telah menunjukkan sikap tegas terhadap kemungkinan kehadiran pasukan dari negara-negara yang tergabung dalam aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Ukraina. Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, menyatakan bahwa keterlibatan pasukan asing dalam bentuk apa pun, termasuk sebagai pasukan penjaga perdamaian, dianggap sebagai ancaman serius bagi Moskow.

Menurut Lavrov, Rusia tidak akan menerima keberadaan pasukan NATO di Ukraina dalam kondisi apa pun. Sikap ini mencerminkan kekhawatiran Rusia bahwa keterlibatan pasukan asing dapat semakin memperumit situasi dan berpotensi memicu eskalasi lebih lanjut dalam konflik yang sedang berlangsung.

Meskipun masih dalam tahap pembahasan, pertemuan virtual yang akan diikuti oleh PM Albanese menunjukkan adanya upaya dari negara-negara Barat untuk mencari solusi jangka panjang terhadap krisis di Ukraina. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk keamanan global dan hubungan diplomatik, keputusan terkait pengiriman pasukan perdamaian akan bergantung pada perkembangan situasi di lapangan serta kesepakatan antara negara-negara yang terlibat dalam diskusi ini.

Dalam beberapa bulan ke depan, perkembangan lebih lanjut mengenai peran Australia dalam misi perdamaian di Ukraina kemungkinan akan semakin jelas. Pemerintah Canberra diperkirakan akan terus melakukan koordinasi dengan mitra internasionalnya sebelum mengambil keputusan akhir terkait keterlibatan militer dalam konflik tersebut.